Sabtu, 28 Maret 2009

Menggali Jiwa, Mencari Cinta

Note: Tulisan ini dinukil dari novel "Metamorfosis Cinta", karya M. Joseph (Penerbit: Pesantren Nawesea Press)

Larutan garam kehidupan dalam diriku semakin terasa lekat_pekat. Usiaku yang meningkat tak terbendung, merupakan salah satu ciri bahwa selimut masa –yang sekaligus sebagai jalan satu-satunya-- tidak pernah lalai menyediakan bubuk garam dalam keberadaanku. Aku berdiri_pasrah. Namun janji dalam diriku, aku tidak akan pernah menyerah:

“Nada-nada detak jantungku akan selalu aku perhitungkan
Hembusan nafasku, sebagai bukti tekadku
Melalui raga-rangka ini, aku melangkah-laju
Laju-maju dan hanya berhenti di terminal ayat-ayat Pencipta”


Tentu bukanlah pelayaran yang mudah, hanya dengan menaiki sebilah janji kemudian samudera terlewati. Maka aku pun mencoba mengorek-korek gundukan potensi lain yang mungkin bisa melengkapi sarana yang sudah tersedia. Kumulai dari pinggir, dan kugeser menjauh dari gundukan sebelumnya supaya tidak membuat timbunan baru. Setelah pencarian ini berlangsung cukup lama, tampak warna kekuningan diantara selangkangan harapan, yang serpertinya sudah cukup lama berkarat. Kemudian akupun membersihkanya, dengan cukup hati-hati mulailah menampak pelan.

Secercah asa, merupakan bukti adanya tempat tujuan
Tempat yang menyimpan semua rahasia
Dengan masa sebagai jalan utamanya
Jalan yang hanya bisa dilalui oleh kendaraan ‘usaha’
Namun tiada pernah sampai, kecuali dengan bahan bakar jiwa


Kuamati sekelilingnya. Semoga benar, inilah yang aku cari. Kilapan kecil semakin meyakinkanku, bahwa modalku mulai tergapai. Jari-jemari tanganku mulai melemas, tatkala secarik noda terkelupas. Aku pun mencoba sedikit merebah, sambil menunggu kedatangan daya yang tak pasti. Namun belum ada sekejap mata, angin lebat yang membawa banyak debu hitam pekat telah menghampiri. Aku menangis sesal, belum bersih benar modalku, kini telah ternodai lagi. Bahkan semakin tebal.

Penyesalan adalah sesal itu sendiri
Dimana jiwa harus berhenti
Tatkala jiwa-jiwa lain melaju cepat pada jalur masa
Karena masa tidak mengenal transit
Karena masa adalah jalan satu-satunya
Yang tak mampu menampung kelengahan

Histeris sanubari tak terbendung. Gema terdengar keras dari langit-langit jiwa. Sebuah fenomena langka tanpa disadari terjadi. Beberapa butiran debu terjatuh. Meskipun noda masih begitu tebal, namun usaha tanpa kesengajaan ini tetap sedikit membantu. Tentu aku tidak akan menyia-siakannya, dengan mempelajari langkah-cara terjatuhnya.
Sayap-sayap ‘usaha’ mulai tumbuh kembali. Kini, kesalahan tidak boleh terulang lagi. Tanpa harus menunggu berbulu, aku tetap mencoba meskipun harus merangkak_pelan. Beberapa tahap mulai terlewati, namun belum juga sampai pada tempat histeris tadi. Gejolak pun mulai terasa, maka aku harus semakin waspada. Agar tidak terlena, pandanganku pada ‘histeris’ tidak aku putus. Begitu pula genggamanku semakin dieratkan, agar tidak goyang oleh denyut godaan. Dengan tanpa menghiraukan cucuran keringat, sampai juga pada ‘histeris’.
‘Histeris’ aku pegang erat-erat, agar tidak terjatuh. Setelah terasa cukup aman, aku mulai mempelajarinya. Dari bentuk sampai warnanya aku amati. Belum selesai meneliti, bulu sayapku mulai tumbuh. Pada saat antusias mulai hadir, ‘nilai-nilai histeris’ menampakan. Disitu terdapat pilihan, memilih meninggalkan atau memisahkan antara ‘semangat’ dengan ‘emosi’. Apabila memilih memisahkan keduanya, maka harus memerlukan energi yang cukup besar, atau paling tidak cucuran keringat yang lebih deras dari perjalanan sebelumnya. Berbeda dengan meninggalkan, tertawa lepas bisa bebas. Namun setelah melewati pertimbangan yang matang, aku pun memutuskan untuk memisahkan. Sambil menjaga dari pengaruh kejenuhan, langkah cermat dan teliti dalam mengisolasi ‘nilai-nilai histeris’ akhirnya berhasil.

Kerak-kerak jiwa akan terus mendiami dan bertambah
Tiada eksepsi apalagi kelongsong
Ketika kerak menimbun pekat, tiada sekat yang mampu menghalangi
Mara bahaya pun bukan lagi mengancam, melainkan sudah menyerang
***
Bunga-bunga jiwa semakin layu, karena tertutupnya jalur aliran nirma
Kumbang-kumbang jiwa pun turut memelas
Masa hanya mampu menangis, tanpa bisa berhenti
Arti peduli semakin buram
***
Detak-denyut kehidupan jiwa semakin tipis
Aneka macam warna seolah mulai kembali pada satu warna sumbernya
Kini bukan lagi menunggu baiknya momentum
Secuil kemauanlah yang mampu menjadi pusaka
***
Diantara beratnya memikul godaan,
Potensi semakin merunduk takluk
Kemauan semakin terasa sepi
Namun itulah fakta, akibat kesalahan cara
***
Tidak gerak, adalah respon lain dari menunggu kematian
Dimana kehidupan sudah diberikan
Bergerak, justru seolah langkah cepat menuju kematian
Dimana mata jiwa mulai berat membaca bentuk peta
***
Pilihan pun hampir tidak memiliki beda
Maka nada jiwa harus berani berkarya, guna menemani sakitnya
Meskipun berat, sedikit suara pun sudah cukup membantu
Bahwa jiwa tidak sendiri
***
Tanpa disadari semangat mulai kembali,
Ketika berani sedikit mencakar masa
Dimana kerak muda mulai berjatuhan
Dan bintik jiwa yang tampak mulai mengeluarkan cahaya

Setahap masalah yang datang menghadang telah aku loncati. Dengan sambaran tadi, aku justru semakin percaya diri, yang seolah terasa ada kehadiran bekal untuk langkahku lagi. Sekembalinya style rangkakku menjadi langkah, juga semakin mempermudah, karena tidak lagi berkisut. Khawatir kepulihanku terganjal kembali, langkah cepat menjadi pilihan. Aku juga semakin meningkatkan kewaspadaan, agar tidak melaju secara srampangan, sehingga bisa berhasil dengan memuaskan.
Letih mulai terasa, setelah melewati beberapa rel. Namun masa masih juga belum tampak ujungnya. Aku tidak lagi putus asa, lagi-lagi dengan alasan yang sama, yaitu agar tidak kembali pada kondisi semula. Dengan gerak terpaksa, aku masih tetap meneruskan, meskipun harus sedikit pelan. Semakin lama, semakin ada sesuatu yang nyeri dibawahku. Panjangnya perjalananku, menjadikan aku semakin tidak perduli. Aku melaju pasrah, antara mati disini atau disana. Roman diriku pun semakin nampak memerah, karena aku harus menahan perih yang semakin teramat. Ketika luka pada langkahku membesar, sayapku telah mampu mengepak. Secepat hembusan nafas aku mengganti cara, dari langkah menjadi sayap. Sambil melanjutkan kearah tujuan, kutatap masa, dan ia tampak merunduk. Aku tersenyum lepas, dan mataku aku usap supaya bisa menatap semakin jelas. Kepakan demi kepakan semakin terbiasa. Aku semakin cepat.

Galau, sedih dan memelas merupakan wajah tanpa arah pasti
Yang tampak karena ketidakmampuan menerima hadirnya tamu-tamu duri
Galau, sedih dan memelas adalah sekawanan prajurit yang mengajak pada kesunyian, dan bahkan menyeret pada mati
Yang berakhir tanpa bisa berdiri, apalagi membawa arti
***
Perih dan pedih adalah warna tersendiri dari kehidupan
Yang hadir untuk meyakinkan akan adanya kepastian
Perih dan pedih adalah nafas perjuangan
Yang harus dialami demi keberhasilan

Piramida Jiwa

Berdiri dan merunduk dengan sisi yang tidak sama, sekaligus sujud pada sisi lainya merupakan transformasi nilai-nilai dalam kehidupanku yang hingga kini belum selesai. Meskipun aku tak ragu untuk me-gol-kan, namun aku merasa butuh masa yang memihak. Tentunya, hal tersebut tidak akan pernah aku ketahui. Selain memaksimalkan langkah, sebagai wujud rabaan.
Aku meyakini itu, karena selama ini telah menemukan banyak hal baru, yang sebelumnya belum terpikirkan. Bahkan, dilain kesempatan aku justru terpaksa memetik buah kehidupan yang jauh-jauh hari kuanggap benalu, tetapi hasilnya sangat membantu.
Roda kehidupan tidak akan pernah berhenti
Selama ujung waktu belum ditemui
Dengan tumbuhnya widadari adalah suatu bukti
Akan generasi yang hanya mampu meratapi

Ejaan demi ejaan guna membongkar esensi wacana hidup terus berkelanjutan. Arah yang hadir dari posisi berbeda seolah memahami. Mereka menyapaku dengan senyuman. Dari raut wajahnya, tampak gambaran Jalur Pasti. Kemudian salahsatu dari mereka aku ikuti. Sambil berharap menemukan apa yang kucari. Setelah cukup lama, masih juga belum terlihat tanda-tandanya. Kali ini aku semakin dekat dengan dia, namun ia justru menolehkan wajahnya. Seolah ada yang salah dalam diriku. Aku pun berhenti.
Kali ini aku mengamati diriku sendiri. Ada apa?, tanyaku sendiri. Setelah aku jauh dari dia, aku mulai memberanikan diri menyentuh sesuatu yang selama ini tak terhirau, yaitu jiwaku sendiri. Jiwaku dengan penuh semangat menerangkan seraya menunjuk-tunjuk dirinya,
“bahwa apa yang telah aku lakukan sudah benar. Namun cara itu belum akan berhasil, karena apa yang dicari kuncinya disimpan di sini.”

Adikku

To Zein & Im

Kutulis puisi ini dengan mata berkaca-kaca, dan hati terasa sangat gembira
Butiran-butiran air mata semakin mencucur deras, ketika huruf demi-huruf tertata
Tubuhku terasa semakin bergetar keras, namun aku terus memaksa
Aku pun tersungkur lemas, tatkala meletakkan huruf terakhir pada puisi ini
***
Adikku, lihatlah aku! Kini bukan lagi sebagai kakak yang dulu lagi
Aku sudah mengerti jati diri
Bahkan kini aku tak memerlukan lagi
Karena aku sudah melewati
***
Adikku, lihatlah aku! Kini aku mulai menginjak belajar arti harga diri
Bukan seperti dulu, yang hanya bernyanyi namun tidak mampu berdiri
Aku pun mulai merasakan fungsi mata hati
Sehingga aku tidak perlu lagi harus takut mengejar mimpi, karena aku yakin akan terbukti
***
Adikku, lihatlah aku! kini hadir dengan membawa banyak arti
Arti kehidupan sudah dalam genggaman, kini tiada lagi yang perlu aku takuti
Aku pun telah mengerti cinta, bahkan kini telah melebur-nyatu dalam pribadi
Kini, lepaslah sudah baju ambisi
***
Adikku, kuucapkan terimakasih pada kalian...
Karena kalianlah aku semakin mengerti...
Kini, kupasung jiwa ini agar tidak berlari
Maka terimalah persembahan kecil dari manusia yang pernah tak berbudi ini!!
***
La haula wa laa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim
Shodaqallahul ‘adzim